Dikisahkan di sebuah sebuah desa, yang kita sebut saja desa Artha Katah, tinggalah seorang pandai nan cerdik Jamaludin beserta istrinya yang paling cantik di seluruh desa tersebut, Miranda. Jamaludin dan Miranda adalah pasangan yang serasi. Diantara mereka selalu saling memberi dan menerima. Sungguh pasangan yang serasi. Paras yang luar biasa cantik dari seorang Miranda, menjadikan dia menjadi idola para kaum pria di desa tersebut. Dan lazimnya pria-pria yang melihat wanita cantik, pasti tidak dapat menahan diri untuk tidak menggodanya, walaupun hanya sekedar melirik-lirik wajah Miranda. Bisa dimaklumi, karena fisik seorang Miranda memang bagaikan bidadari yang baru turun dari kahyangan. Hanya saja dia tidak memiliki sayap yang menempel di punggungnya. Ketika di pasar, dia selalu digoda oleh beberapa pria disana. Pergi ke sawah, digoda juga. Pulang pengajian, digoda juga. Bahkan sedang menjemur pakaian pun, tetap digoda juga.
Pada awalnya Miranda tidak terlalu menggubris perlakuan para pria itu padanya. Namun sampai pada akhirnya, ia mulai merasa risih. Akhirnya Miranda pun laporan pada suami tercintanya. "Aku sudah capek kang mas, digodain terus sama tuh bapak-bapak sampe engkong-engkong. Apa mereka lupa kalo mereka tuh udah punya istri masing-masing. Padahal mereka juga tau kalo kalo dah punya kang mas sebagai pelabuhan hatiku. Enaknya diapain ya kang mas?" Dengan mengernyitkan dahi, Jamaludin pun nampak berpikir dan kemudian diakhiri dengan senyuman yang lebar. "Aku dapet ide dinda. Gini aja, kamu siapin roti agak banyak. Jenisnya sama aja. Ga usah dibeda-bedain. Rasanya juga harus sama, ga usah ada yang ditambahin gula atau bahan yang lain. Nah bedanya kamu kasih warna yang beda-beda aja. Ada yang merah, putih, kuning, hijau, ama ungu. Atau warna apapun lah. Warnanya dibuat semenarik ungkin. Pokoknya kamu siapin tuh roti buat besok lusa, malem. Kang mas bakal ngundang bapak-bapak buat makan-makan disini." Miranda yang tidak tahu maksud dari suaminya ini, hanya mengangguk pertanda mengiyakan. Keesokan harinya pun Miranda mulai membeli bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat roti sesuai spesifikasi yang diinginkan suaminya. Sedangkan Jamaludin membuat woro-woro kepada seluruh bapak-bapak untuk menghadiri acara yang akan ia adakan esok harinya. Dan ia pun menegaskan bahwa undangan ini hanya untuk bapak-bapak saja.
Hari yang ditunggu telah tiba. Para pria di desa tersebut berbondong-bondong datang ke rumah Jamaludin. Mereka penasaran sebetulnya Jamaludin mengadakan pesta untuk merayakan apa. Sesampainya di rumah, para warga merasa kebingungan, karena di rumah Jamaludin tidak terlihat seperti orang yang sedang membuat pesta. Karena kondisinya biasa-biasa saja, sama seperti kesehariannya. Nampak dari dalam rumah, seorang pria yang juga berpakaian seperti pakaian sehari-hari dan tidak seperti orang yang sedang mengadakan pesta. Ya, ternyata dia adalah Jamaludin sang pemilik rumah. Dengan ramah ia mempersilahkan bapak-bapak untuk masuk ke dalam rumahnya. Kemudian ia mulai menyuguhkan roti-roti tersebut. Karena perasaan menghormati tuan rumah, tentu saja para warga mulai menyantap roti-roti yang ada di hadapannya. Roti-roti tampak sangat menarik untuk disantap. Habis satu roti, tidak sedikit bapak-bapak meminta rekannya untuk mengambilkan roti yang berwarna lain. "Pak Imron, tolong ambilkan roti yang warna merah dong. Saya mau coba yang itu." Sahut Pak Abdul yang baru saja menghabiskan satu roti yang berwarna ungu. Demikian pula bapak-bapak yang lain. Mereka mencoba beberapa roti yang berwarna lain.
Sampai akhirnya mereka baru sadar, ternyata roti itu rasanya sama semua. Hanya warna-warnanya saja yang berbeda. Kemudian terdengar satu orang yang menyeletuk pada tuan rumah, "Pak Jamal, sebetulnya ngundang kita semua kesini ngapain sih?", "Ooo...saya hanya mengundang bapak-bapak sekalian untuk makan-makan disini. Istri saya lagi bikin roti-roti yang enak-enak ini". "Ya memang bener enak sih pak. Tapi ini rasanya kok sama semua sih? Warnanya aja yang berbeda. Kalo rasanya sama, la ngapain pake dibedain warnanya pak. Kan mending satu warna aja?
Mendengar kata-kata itu, Jamaludin tersenyum simpul. "Nah pak, bukannya itu yang bapak-bapak lakukan selama ini? Bapak-bapak sering menggoda istri saya kan? Padahal bapak-bapak sudah pada punya istri di rumah. Ngapain pake goda istri orang pak? Sebetulnya rasanya ya sama aja. Cuma wajahnya aja yang beda. Istri saya wajahnya seperti itu, dan istri bapak memiliki tampang masing-masing. Tapi kita sebagai suami juga tetep rasanya sama pak. Sama seperti roti itu kan? Bapak pengen nyoba warna yang lain, ternyata rasanya sama aja. La kalo memang rasanya sama saja, kan mending tetap memakan roti yang warnanya itu saja. Bukan begitu bapak-bapak?" Dan dari kejadian malam itu, bapak-bapak pun mulai sadar dan tidak pernah menggoda istri Jamaludin lagi.
Sebetulnya analogi seperti ini juga sering kita alami di kehidupan nyata. Kita sering kali terlalu over dalam memuji kemampuan seseorang, dan cenderung "menjatuhkan" rasa percaya terhadap kemampuan diri sendiri. Anda mungkin pernah melihat teman yang berkata, "Wah orang itu hebat banget ya. Bisa maen basket, tinggi, temennya banyak, kaya, ganteng pula. Sedangkan aku ga bisa apa-apa.". Ya orang-orang yang seperti itu biasanya tidak percaya bahwa dirinya memiliki kelebihan-kelebihan. Dia tidak pernah menyelami kemampuan terpendamnya. Karena dia hanya terfokus pada kelemahan-kelemahannya. Padahal sama dengan cerita di atas, kita sebetulnya tidak berbeda dengan orang lain. Hanya "warna" nya saja yang berbeda (dalam hal ini usia, wajah, bidang yang dikuasai, dan lain-lainnya). Kita sama-sama manusia. Kita sama-sama dilahirkan dari rahim seorang wanita. Dan kita juga sama-sama memiliki otak untuk berpikir.
Untuk itu segera temukan kelebihan anda. Jangan hanya fokus pada apa yang tidak bisa anda lakukan. Tapi FOKUSLAH PADA APA SAJA YANG BISA ANDA LAKUKAN UNTUK BERKREASI
Do Your Best, Be The Best
Make Life Not Just Living