Senin, 12 Desember 2011

Kisah Bapak Tua Penjual Amplop

Hmmm....jujur, pertama kali diberitahu link cerita inspiratif ini saya sempat berpikir "Aaah...paling ceritanya gitu-gitu aja". Tapi ternyata setelah iseng saya buka link tersebut, banyak pembelajaran yang bisa kita dapat dari cerita ini yang mungkin bisa menginspirasi anda. Dan siapa tahu, setelah membaca cerita ini anda menjadi memiliki pandangan baru yang lebih positif tentang membantu orang yang kurang seberuntung kita



Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat, saya selalu melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa "aneh" di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia "nyempil" sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun bapak itu tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.
Kehadiran bapak tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu.
Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri bapak tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusa plastik itu. "Seribu", jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. "Saya beli ya pak, sepuluh bungkus", kata saya.
Bapak itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.
Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. "Bapak cuma ambil sedikit", lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal 'menipu' harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.
Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di facebook yang bunyinya begini: "bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap..".
Si bapak tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka insya Allah lebih banyak barokahnya, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.
Dalam pandangan saya bapak tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di masjid Salman, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si bapak tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu.
Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si bapak tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si bapak tua.
Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si bapak tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku

Kamis, 01 Desember 2011

Enterpreneur Butuh Pendidikan

Hmmm.... Sudah lama sekali saya tidak posting di blog ini. Sebagai pemanasan lagi, saya posting 1 artikel yang pernah saya baca
Mohon maaf sekali karena saya lupa sumbernya dari mana, maka sumber tidak saya cantumkan
Yang pasti dengan ini saya menyatakan bahwa tulisan ini adalah copas dari sumber lain. Tapi tujuan saya hanyalah mencoba menginspirasi para pembaca sekalian. Selamat menikmati


Sementara banyak entrepreneur pemula terkesima dengan keberhasilan para entrepreneur yang meninggalkan bangku kuliah Bill Gates, Steve Jobs, Michael Dell dan sebagainya, terselip pertanyaan sebagai berikut: "Seberapa pentingnya pendidikan bagi keberhasilan seorang entrepreneur?"
Pendidikan formal mungkin bukan jalan yang 100% bisa membuat Anda langsung berhasil. Tetapi harus diakui juga terdapat kekhawatiran bahwa dengan pendidikan formal yang memadai, seseorang bisa saja meraih kesuksesan yang lebih tinggi saat menjadi seorang entrepreneur.
Berikut adalah beberapa alasan mengapa seorang entrepreneur sebaiknya tidak meninggalkan bangku pendidikan meski dengan alasan berbisnis di usia muda yang dirangkum dari pendapat Onibalusi Bamidele, seorang entrepreneur muda berusia 16 tahun.
Kuliah menambah besar peluang sukses
Jika Anda mengamati sebagian besar entrepreneur yang meninggalkan pendidikan formal, Anda bisa amati bahwa sosok entrepreneur yang mereka idolakan ialah BillGates. Tapi jika kita cermati, berapa banyak entrepreneur di dunia yang mampu mencapai prestasi seperti Bill Gates?
Menjadi terkemuka tidak serta merta selalu berkenaan dengan ide cemerlang atau pengetahuan mendalam tentang sebuah bidang tetapi lebih kepada bagaimana Anda bisa menampilkan ide-ide Anda dengan cara  yang paling efektif. Anda bisa temui kemudian hari bahwa keputusan untuk tidak ikut serta dalam pendidikan formal adalah salah satu penyesalan terbesar Anda.
Mungkin kita beberapa kali pernah menemukan entrepreneur yang sukses meski sudah berhenti kuliah. Dan kita mendengar keberhasilan mereka karena mereka sudah sukses. Mungkin kita lebih sering menemukan daftar sensasional entrepreneur tanpa gelar sarjana yang sukses luar biasa tetapi apakah kita pernah tahu dan membaca deretan nama-nama entrepreneur tanpa pendidikan formal yang juga gagal? Jumlahnya pasti lebih banyak lagi.
Ada begitu banyak fakta untuk mendukung pernyataan di atas dan kita telah membaca sejumlah wawancara dengan entrepreneur yang berharap mereka tidak pernah memutuskan masa studi mereka. Yang lebih tepat ialah bahwa banyak entrepreneur akhirnya menemukan kesalahan mereka untuk meninggalkan bangku sekolah di kemudian hari. Dan demi melindungi ego mereka, mereka terus menerus berkata bahwa adalah hal yang tidak buruk untuk meninggalkan bangku kuliah demi merintis usaha.
Jika kita mengamati angka-angka yang ada, sangat sedikit orang yang gagal lulus kuliah menjadi luar biasa sukses saat menjadi entrepreneur dan banyak dari mereka ini menyalahkan diri mereka suatu hari nanti karena membuat keputusan tersebut dan berteriak dalam hatinya, "Jika saja saya tamat kuliah!"
Untuk menghindari penyesalan seperti itu, mari kita telaah beberapa alasan mengapa mengikuti pendidikan formal adalah sebuah investasi jangka panjang yang tak pernah sia-sia.
Menambah rasa percaya diri
Mungkin Anda bisa membayangkan untuk berada dalam sebuah ruang rapat yang dipenuhi oleh para direktur, eksekutif atau orang-orang terdidik dan kemudian memulai presentasi Anda dengan sebuah pernyataan pembuka yang bernada bangga," Saya tidak menyelesaikan pendidikan formal saya". Sebesar apapun kekaguman orang pada awalnya, mereka akan bertanya tentang bagaimana Anda bisa merasa bangga terhadap hal itu.
Memang betul pola pikir entrepreneur tidak harus mengikuti pakem atau norma yang ada, tetapi kita juga perlu menyadari bahwa mengikuti pendidikan formal adalah suatu prestasi tersendiri dibandingkan mereka yang tidak menempuh pendidikan formal hingga tuntas.
Jika Anda menemukan seorang entrepreneur sukses yang memiliki banyak prestasi dengan nada, "Saya memiliki gelar Ph. D dalam matematika terapan, tetapi saya gembira tidak pernah harus menggunakan gelar itu untuk mencari pekerjaan karena keputusan untuk menjadi entrepreneur adalah yang terbaik bagi saya." Orang-orang yang menyaksikan Anda akan merasa lebih respek kepadanya. Kita bisa mulai memandangnya sebagai seseorang dengan kecerdasan tinggi, teman yang terdidik yang mengetahui apa yang ia katakan, tidak hanya sekadar melek huruf.
Anda memiliki opsi kegagalan
Sementara sepanjang waktu tidak ditemui adanya kebutuhan untuk opsi gagal ini, tidaklah buruk untuk memilikinya. Karena hanya ada sedikit jaminan menjadi entrepreneur sukses untuk Anda, setidaknya Anda memiliki rencana khusus sebagai cadangan.
Amatilah sebagian besar entrepreneur berhasil yang tercatat dalam sejarah dan Anda akan melihat bahwa sebagian besar persentase tersebut telah bekerja dalam bidang yang mereka tekuni selama setidaknya 5 tahun berturut-turut sebelum mereka benar-benar sukses. Jika Anda memiliki pekerjaan, jika Anda tidka memiliki gelar, bahkan jika Anda memiliki motivasi besar sekalipun , Anda masih harus mengetahui bahwa tidak mudah untuk berhasil sebagai seorang entrepreneur. Bukan berarti kita abaikan usaha dan bisnis yang sedang dirintis tetapi patut dipahami bahwa untuk sukses dibutuhkan waktu yang tidak sedikit. Dan gelar akademis Anda bisa menjadi faktor pembantu yang bisa mempersingkat panjang waktu yang dibutuhkan untuk menjadi sukses karena itulah.
Mungkin Anda bertanya, "Mengapa seorang entrepreneur membutuhkan respek?" Telah terbukti bahwa lebih dari 70% usaha rintisan gagal di tahun pertamanya dan jika Anda bayangkan menjadi salah seorang pendiri usaha ini dan Anda tidak memiliki kualifikasi akademik. Pertama-tama Anda akan kehilangan citra di mata publik. Anda juga kurang leluasa untuk membangun bisnis yang sukses selama bertahun-tahun dengan citra yang kurang diterima publik. Ini akan membuat Anda frustrasi dan lebih berpeluang untuk berhenti di tengah jalan.
Anda dapatkan lebih banyak pengetahuan dan pengalaman
Banyak entrepreneur akan menanyakan hal ini dan akhirnya mengatakan bahwa pengalaman nyata lebih banyak datang dari praktik menjalankan bisnis. Tidak ada keraguan untuk itu tetapi perlu diketahui juga hal-hal lain yang juga tak kalah penting.
Menempuh pendidikan formal memungkinkan Anda untuk mengambil jalan yang lebih sesuai dengan keinginan Anda dan memperkaya pengetahuan dengan belajar secara terus menerus dan praktik pengetahuan yang sudah terserap. Anda juga akan bisa menemukan orang-orang dengan pemikiran yang sama dan Anda bisa belajar dari mereka, Anda juga akan mendapatkan pengalaman dalam berjejaring dan berkomunikasi dengan orang.
Banyak entrepreneur muda memiliki ketrampilan komunikasi dan jejaring yang kurang memadai dan hal ini akan mempengaruhi kesuksesan dalam bisnis dan kehidupan. Ikut pendidikan formal akan membantu Anda mempelajari banyak hal dan salah satunya ialah kemampuan untuk mempertajam dan meningkatkan ketrampilan berjejaring dan komunkasi Anda.


Pendekatan yang berbeda
Setelah mengamati kisah sebagian besar entrepreneur yang mendukung untuk tidak ikut serta dalam pendidikan formal, sebuah kesamaan ditemukan: mereka rata-rata tidak memilih jurusan yang mereka sukai. Seorang entrepreneur tidak bisa berhasil jika tidak memilih bidang yang sesuai dengan minatnya. Dan itu adalah harga mati. Pendekatan yang kita gunakan haruslah berbeda, yaitu memanndang kuliah sebagai sarana untuk memperdalam hal yang Anda cintai bukan mendapatkan nilai A sebanyak mungkin.(*Akhlis)