Rabu, 09 Maret 2011

Kisah Seorang Supir Taksi

Ini adalah hasil dari pengalaman saya pribadi saat berlibur ke Yogyakarta. Bersama istri saya, kami memutuskan untuk berlibur kesana. Kenapa harus Yogya? Karena kota ini sudah saya anggap sebagai kota kedua saya. Meskipun saya bukan asli orang sana. Tapi saya sudah jatuh cinta dengan kota ini. Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan hari ini. Karena percuma juga anda saya suguhkan cerita tentang apa saja yang kami lakukan saat liburan disana :)

Saat liburan di Yogya ini, kami menumpang salah satu taksi yang dipanggil via telpon saat kami selesai berkunjung dari keraton Yogya. Dari luar, saya melihat bentuk fisik taksi ini biasa-biasa saja. Tidak nampak eksklusif. "Ah..paling pelayanannya juga standar. Tapi ya ngapain juga dipikirin. Pokoknya nyampe ke tujuan lah" Itulah kesan pertama yang saya dapatkan

Tapi kesan itu mulai berubah saat kami mulai ngobrol dengan sang sopir. Saya tanya-tanya mulai dari keluarga, berapa lama jadi supir taksi, asli dari mana, dan beberapa pertanyaan lain dengan tujuan untuk membangun keakraban. Beliau pun akhirnya menceritakan beberapa pengalaman hidupnya. Termasuk hanya dari profesi supir taksi, dia bisa menyekolahkan kedua anaknya hingga lulus kuliah dan keduanya pun telah bekerja (yang sulung bekerja di salah satu hotel yang cukup besar di yogya, dan anak kedua baru diterima di salah satu bank swasta). Tapi yang lebih hebat lagi, mobil yang dia labeli sebagai taksi ini kepemilikan sepenuhnya punya beliau. Kenapa menurut saya cukup hebat? Berapa diantara supir taksi yang kita tahu yang berhasil memiliki mobilnya?


Supir taksi ini menceritakan, dulu dia ditawari untuk mengambil cicilan mobil tersebut selama 5 tahun. Konsekuensinya, dia harus cicil ke perusahaan taksi itu sebesar Rp 200.000,- per hari. Belum lagi uang setoran harian, uang bensin, dan uang makan, serta kebutuhan keluarganya. Tapi hal itu dia lakukan secara konsisten selama 5 tahun. Bahkan dia pernah mengantar penumpang hingga luar pulau jawa. Tapi dia tidak pernah menyerah. Dia terus melakuan, terus melakukan, dan terus melakukan.

Saat kami menjadi penumpang bapak itu, ini adalah tahun keenam beliau sejak mulai mencicil mobilnya. Ini artinya, cicilannya sudah lunas. Dan sekarang beliau tidak bekerja sepenuh dulu. Beliau juga menceritakan "Saya kalo jam 7 malem ya udah di rumah mas. Istirahat. Kalo pagi berangkat sekitar jam 9 kalo ga jam 10an". Dan uang yang disetor ke perusahaan pun kini hanya sebesar 100 ribu saja. Itu pun sebagai biaya fasilitas radio yang dia dapatkan untuk menggaet pelanggan. Dan dari pendapatannya yang rata-rata Rp 200.000 per hari, itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhannya

Itulah sebuah kisah seorang supir taksi yang saya temui di kota Gudeg, Yogyakarta. Semoga dari cerita ini dapat menginspirasi sahabat sekalian untuk terus berjuang di setiap pekerjaannya. Jangan pernah menyerah di saat menemui masalah yang besar sekali pun. Karena masalah diciptakan untuk membuat kita makin kuat di kemudian hari

Do Your Best, Be The Best
Make Life, Not Just Living